Selasa, 22 Desember 2015

Deasterina - Demo EP

Band baru asal Jakarta bernama Deasterina merilis sebuah demo EP yang patut disimak. Satu lagi shoegazer baru dengan materi yang tak mengecewakan.




Belum lama saya mendapatkan satu lagu dari salah satu personil Deasterina, dan menyenangkan juga ada satu band shoegazing baru lagi muncul di Indonesia. Lalu dua lagu lagi terkirim, dan okay, band ini punya sesuatu yang layak untuk dinikmati.

Lahir dari kampus IKJ, dengan nama Babushka, tahun 2013, lalu berganti nama menjadi Deasterina. Musiknya memang condong ke band-band di label 4AD macam Lush dan juga Chapterhouse. Personilnya Ages Bangun - Drums, Timmy Loen - Bass & Vocals, Danny Yuwanda - Gitar, dan Yudhitaprawesti Shah - Vocals.



Ketiga lagu yang mereka rilis dalam EP demo adalah Male & Female, Luminescence, dan damn, satu lagu saya yang bagus imho, Luminescence. Layak jadi single andalan. Coba dengerin di laman soundcloud mereka di https://soundcloud.com/deasterina

Jika kamu mau dapatkan EP-nya, bisa dibeli via instagram Zimpanzu seharga, 35ribu, numbered, hanya 50 keping saja.

Rabu, 25 November 2015

Intenna - Helter Skelter

Sebuah album perdana dari band shoegaze kota Malang yang memikat, Intenna telah hadir. Judulnya Helter Skelter, a parade of beautiful noises.



Akhirnya yang ditunggu sekian lama, album perdana Intenna. Band shoegaze kota Malang ini sudah bikin saya kepincut sejak dapat informasi dari teman tentang keberadaan band ini. Dan selalu senang mendapati band shoegaze tradisional khas 90s seperti mereka.

Album perdana mereka bertitel Helter Skelter. Ada 10 lagu di album ini, termasuk beberapa single mereka seperti Flowery dan Thirst di album split bareng Guttersnipe, dan Memar di kompilasi Indonesian Shoegazer: Holy Noise. Namun beberapa lagu di album ini juga keren banget spt Glimpse, misalnya. Di lagu Lantur, mereka bermain2 dgn lanturan psikedelik.



Personil band ini adalah Oming (vokal), Prastowo, Haidi, Suhaimi, dan Ovan. Beberapa lagu sepertinya tak diisi  suara vokal Oming karena dugaan saya si Oming keburu di Jakarta hahaha Tetapi tak apa sih, sama-sama bagus.

Kalau bicara influence, album ini memang kayak mosaik kontur musik shoegaze 90s. Dan pribadi saya suka album ini. Descent effort from these guys. Segeralah beli album ini, dan mari berharap kita bisa menonton live mereka.

----------------

Selasa, 06 Oktober 2015

Hellens

Kota Tangerang juga memiliki geliat shoegaze yang menarik. Hellens adalah nama band asal Tangerang yang dimaksud. 



Ada dua lagu di soundcloud mereka, berjudul Spacelight dan Losing Distance. Materinya bagus-bagus, mengingatkan pada band-band shoegaze di label Cherry Records jaman dulu, mungkin semacam seperti Blind Mr. Jones, atau Helium asal US.

Menyenangkan juga mendapati masih ada band shoegaze tradisional bermunculan. Sudah lama juga saya tak posting band baru. Hellens bisa jadi gairah baru di scene, dan semoga bisa melihat mereka dipanggung. Nice.

Kunjungi laman soundcloud mereka di https://soundcloud.com/officialhellens

Larasati Nugraha as Vocalist
Ary Gunaryono as Keyboardist
Andrian Garibaldi as Bassist
Satrio Rizky as Lead Guitarist
Igar Ardiansyah as Rhythm Guitarist
Maulana Akbar as Drummer

Sabtu, 29 Agustus 2015

Elemental Gaze - Elemental

Band Nu Gaze yang lahir di kota Bandung, Elemental Gaze, merilis sebuah album yang solid dan meruang. Penantian yang sudah ditunggu begitu lamanya.



Butuh layanan gojek untuk mengantar saya dari kantor di Cisaranten Wetan menuju Lawangwangi di daerah Dago Atas. Memotong jalur utama, lewat taman makam pahlawan Cikutra, terus saja melaju menanjak menghindari macet sore hari Bandung yang hampir mirip Jakarta. Tujuannya? Peluncuran album band Elemental Gaze.

Peluncuran album bandnya Luthfi Kurniadi, Fuad Abdulgani, dan Bilfian Sugiana bikin saya kagum. Diadakan dengan konsep outdoor di taman, dengan latar gemerlap kota Bandung di kala malam. Dan menariknya, meski di hari itu bentrok dengan acara musik lain, yang hadir ternyata banyak, sekitar seratusan. Padahal akses ke cafe Lawangwangi tak ada angkot.



Penampilan Elemental Gaze dengan membawa repertoir dari album terbaru mereka Elemental, dan juga beberapa lagu di luar album, terbilang rapi. Diselingi curcol Fuad yang selalu bikin penonton tertawa, bikin acara ini lebih rileks dan tidak serius-serius amat. Lebih hangat.

Sepulang rumah, saya coba putar album Elemental. Ada 11 lagu dengan beberapa track dibantu oleh teman-teman mereka dari Tiga Pagi dan Slylab. Opening track oleh Aurora, dentingan piano yang berusaha membangun atmosfir album Elemental. Beberapa track yang saya anggap standout adalah track lagu Ngaben, Winching the Night Away (1), dan God Knows Why This Should Be Kept For All Time.

Untuk lagu Ngaben, saya suka dengan cara mereka memadukan nuansa nada-nada khas Bali, dan tidak seperti kebingungan untuk meraciknya menjadi sebuah lagu. Dua vokal dan liriknya bagus. Lalu untuk track God Knows Why This Should Be Kept For All Time, adalah favorit saya, lagu tentang mushroom kalau kata mereka saat peluncuran.

Sementara track instrumental dimana Elemental berbising ria dengan bebasnya, di lagu Winching the Night Away, bisa menjadi trek yang bisa menemani siapapun yang sedang menuju Bandung via tol Cipularang. Beat electric drum dan bass-nya, quite a killer tone di lagu ini.

Overall, album Elemental patut dimiliki, sebuah album yang dirilis Sorge Records dengan materi yang apik, solid, dan tertata dengan baik. Spacey and gazing, beautiful and noisey.

Kamis, 25 Juni 2015

Feeling The Ride With Arian13

Arian13 adalah salah satu dari sejumlah orang di negeri ini yang menonton konser reuni Ride. Singgah di London untuk sebuah festival Metal, vokalis Seringai ini rela beli tiket mahal untuk konser Andy Bell cs.

Ride di Roundhouse
Ironinya mewawancarai orang-orang yang sudah nonton konser band-band shoegaze lawas, adalah ketika elo nggak nonton ha ha ha Ngiri adalah manusiawi, asal tidak dengki. Begitulah ketika saya putuskan meminta Arian13 untuk berbagi cerita tentang konser Ride yang berhasil ia tonton di London.

Arian13 telah dikenal penikmat musik shoegaze. Bagi yang punya kaset kompilasi shoegaze lokal Holy Noise bakal paham jika membaca liner notes yang ditulisnya. Setelah sukses nonton Slowdive, MBV (gue tebak aja sih, tapi pasti udah nonton hahaha), dan akhirnya Ride, pemilik moto #HidupAdalahKonser ini punya kesan tersendiri tentang konser reunian band shoegaze lawas asal Oxford ini.

Silahkan dinikmati!


1. Ceritaain dong awal mula lo berniat nonton Ride yang sekarang sedang tur reunian.
Justru awalnya gue nggak tahu ada konser reuni Ride ini di London, tahunya mereka akan reuni di Primavera Festival di Barcelona, Spanyol. Gue ada jadwal menonton Swans dan Temples Festival di UK, dan ternya ta ketika sedang membeli tiket konser Swans, di venue yang sama ada konser reuni Ride. Excited, tapi pas dicek ternyata tiketnya sudah sold out. Ketika sudah di London, teman kami memberi tahu kalau ada beberapa tiket yang masih available tapi sedikit lebih mahal, dan akhirnya kami beli saja. Dan ternyata di Roundhouse mereka masih menyediakan tiket untuk mereka yang tidak bisa order online walaupun harganya juga lebih mahal daripada harga tiket yang kami beli. Ya akhirnya malam itu kami berhasil menonton Ride.
2. Berapa harga tiket Ride-nya?

Harga tiket yang gue dapat itu 27 pounds, harga aslinya 25 pounds. Harga di venue pas hari H, 30 pounds.

3. Sempat beli merchandise nya Ride gak di lokasi konser?

Iya, beli, tour edition.
 
4. Sejak kapan lo suka Ride, dan apa yang bikin lo suka, secara lo dikenal sebagai penikmat musik keras.

Dari era '90an gue memang sudah mendengarkan musik-musik seperti ini. Indie pop, twee pop, shoegaze dan lainnya selain metal dan punk. Suka musiknya, biasa saja sama fashionnya. Pada dasarnya memang gue suka berbagai musik hanya saja kalau passion gue memang musik metal dan punk rock. Ketika lo mendengarkan Slowdive, Lush, My Bloody Valentine begitu kan pasti akhirnya terkait juga dengan Ride. Dulu pertama dengerin ya album Nowhere, awalnya suka memang dari hitsnya, "Vapour Trail" dan "In A Different Place". Dapet CDnya, tapi nggak ingat dulu beli atau dapat dari mana/siapa.

5. Kesan lo saat nonton live Ride, kayak apa sih? Seberapa epic mereka manggung di depan mata lo.

Malam itu mereka tight sih, tidak seperti band yang sudah lama tidak manggung. Setlist-nya ok, walau ada beberapa lagu yang gue berharap dibawakan tapi ternyata nggak. Durasinya sekitar 1.5 jam, standar lah. Tapi kalau boleh gue bandingkan, kerenan konser Slowdive di Singapura tahun lalu, terutama soundnya. Atau mungkin karena memang gue lebih suka sama Slowdive kali ya. Haha.

6. Penampilan mereka kayaknya rada kalem yah (secara sudah berumur juga sih), bagaimana dengan tingkat kebisingan mereka?

Mereka nggak terlalu bising, kecuali bagian noise-nya sih. Maksudnya, sound systemnya besar dan kencang, tapi bukan kayak bising seperti konser My Bloody Valentine atau Sunn O))). Kalau mereka kalem, bukannya dari dulu live mereka memang kalem ya?
Yang seru itu pas nunggu mereka on stage di teras luar atas di Roundhouse, nampaknya banyak scenester-scenester indie pop London yang reuni, udah pada tua-tua gitu. Nggak kayak konser-konser metal, para old school-nya ini nggak banyak yang pakai tshirt band. Ada sih beberapa yang masih pakai tshirt band atau berdandan cutting edge, tapi nggak banyak. Dan surprisingly nggak banyak anak muda atau juga hipster yang menonton konser reuni Ride. Mungkin mereka hanya muncul di festival-festival musik, sementara kalau waktu itu memang die hard fans-nya Ride saja yang datang.
7. Penuh gak yang nonton konser Ride?

Roundhouse venue besar, dan penuh dan tidak sesak. Sepertinya tidak sold out tiketnya, tapi ya itu, penuh.


8. Kira2 band macam Ride atau Slowdive bisa dibawa gak yah sama promotor lokal hahaha

Kalau event festival gue rasa bisa. Tapi kalau die hard fansnya yang beli tiket hanya 1000-1500 orang.. bad business.
 

9. Moto lo, #HidupAdalahKonser. Ceritain dong soal Hidup Adalah Konser. Sejak kapan lo menjalani 'umroh' ini, konser pertama lo apa, lalu setiap tahun apa lo ada target harus nonton konser?

Sejak gue nonton konser Slayer formasi original di Singapura tahun 2006 nampaknya. Sejak itu sering menyisihkan uang buat nonton konser di luar. Kalau target, mungkin mulai sejak tahun lalu ketika melihat headliners awal Temples Festival dan Hellfest. Akhirnya memberanikan diri berangkat walau hanya sendirian. Tahun depan sih kalau berhasil menabung lagi ingin datang ke Maryland Death Fest di USA. Kalau 'hidup adalah konser' itu lebih ke ungkapan gue untuk mereka yang mengejar passion-nya menonton musik live keluar negeri, mereka yang memang niat banget mengejar menonton band-band favoritnya yang rasanya punya kemungkinan kecil untuk main di Indonesia atau Asia Tenggara.

10. Di sosmed lo sering banget tiba-tiba di luar negeri nonton konser. Kasih dong tips dan trik buat kita-kita (tsah!) bisa merasakan serunya nonton konser di luar negeri hahaha

Tips pertama: rajinlah menabung! Haha. Nggak ada trik sih, kalau sekalian liputan juga rasanya media musik lokal nggak banyak ngasih kemudahan kecuali band/musisinya mainstream. Ya kalau gue sih, nonton konser ke luar itu sekalian traveling. Jarang gue traveling keluar kalau nggak sekalian nonton konser. Memang enaknya sih sekalian pas summer, karena banyak festival kan. Kalau akomodasi bisa diakali sih akan lebih enak dan irit ya. Gue karena nggak mau rugi, akhirnya banyak ke museum juga, apalagi rata-rata gratis kan.

11. Dari berbagai band shoegaze yang reunian, band apa yang menurut lo paling bersyukur telah nontonin, atau berharap bisa reunian?
Slowdive, tentu saja.

Minggu, 07 Juni 2015

Themilo - Serbuk Terbang Telah Sirna

Single terbaru Themilo bakal membuat para pendengar setianya untuk mengernyitkan dahi. Judulnya Serbuk Terbang Telah Sirna, yang baru rilis 6 Juni kemarin.





Perubahan akan terjadi dimanapun, kapanpun, dan pada siapapun. Termasuk Themilo yang kini usianya sudah lebih dari 1 dekade, telah melewati banyak momen kacau seperti saat master album Photograph hilang dari komputer dan memaksa mereka selama 7 tahun kehilangan mood untuk merilis apapun. Kemudian album tersebut rilis, dan momen bahagia ketika rilisan vinyl dan cd Let Me Begin bisa terwujud dengan selamat.

Kebutuhan untuk penyegaran dilakukan oleh Themilo. Serbuk Terbang Telah Sirna adalah perubahan tersebut. Perubahan corak musik yang bakal bikin kaget pendengar die hard Themilo. Lagu ini lebih upbeat, indie 90s, dua hal yang tak ditemui di album Photograph, bahkan di album Let Me Begin. Layer noise ala shoegaze dreampop mulai tak kentara, dan setiap instrumen bisa lebih muncul. Namun sonic landscape tetap membaluti lagu melalui kibor Unyil.

Bagi yang sudah membeli single lagu ini via online atau pada saat Themilo manggung tanggal 6 Juni kemarin tentu membutuhkan waktu untuk mencerna, tetapi bagi saya, lagu ini tetap keren dan patut dinikmati. Lirik Ajie yang mungkin lebih kaya makna dan arti, membuat saya yakin kalau perubahan musik Themilo tak ada yang perlu disesali. Lebih mature, istilahnya.

Bicara perubahan, saya jadi ingat ketika Ride melakukan perubahan musik di album Carnival of Light. Ketika itu para fans mereka syok, meski mendapat review yang lumayan oke, tetapi proses transisi yang tak mulus oleh band, justru menjadi blunder. Apakah Themilo bisa melakukan transisi yang nyaman? Hanya mereka yang bisa menemukan jawabannya. Merilis satu single ini secara online bisa dibilang cara yang baik untuk proses tersebut.

Akhir kata, saya sarankan untuk menikmati perubahan Themilo dengan pikiran terbuka, karena setiap hal butuh perubahan yang menyegarkan. Dan mereka bisa membuktikannya dengan baik dan apik.

--------------------------------

Dapatkan single Serbuk Terbang Telah Sirna IDR 10.000 dengan mengontak mereka di twitter atau di situs mereka >>>> http://themiloband.com/


Jumat, 05 Juni 2015

The Colour Mellow - Who We Had Become EP

Satu lagi band shoegaze Jakarta yang ngumpet tak terendus, The Colour Mellow, mengusik kanal Soundcloud. Sebuah proyek solo yang liar dan swirling as fuck.



Damn. Saya pikir sudah mentok riset untuk menampilkan band-band shoegaze di sini, sampai akhirnya tak sengaja iseng ketik 'shoegaze jakarta' di gugel, dan di halaman ketiga, muncul nama band The Colour Mellow.

Saya klik, meski akan paham mungkin saja ini band bohongan, karena banyak band-band mengaku shoegaze di info genre, tetapi malah pop abis. Hahaha sering tuh kecele nemu band semacam itu, namun band yang ini tidak! Musiknya shoegazing dan kentara sekali penganut mahzab Kevin Shields.

Page soundcloud The Colour Mellow bener-bener mind blowing, trek2nya bagus, dan ternyata sudah merilis 2 EP. Asli saya kok bisa sampai ketinggalan info soal band ini. Dan ternyata Ash Ababil, ahli sound mastering album Vague dan kompilasi Holy Noise, menjadi koki masteringnya.

Singkat cerita, saya bisa korek informasi, bahwa band ini sejatinya adalah proyek solo anak muda bernama Marvin Saliechan. Ia juga dibantu oleh Garbanu P. (drum) dan Dylan Amirio (synth). Rilisan The Colour Mellow terdiri 2 EP. Oleh sebuah netlabel jepang (kiiro records), EP terakhir mereka 'Who We Had Become' semacam alternative/slowcore dengan nuansa shoegaze.

Tak sabar untuk melihat penampilan The Colour Mellow. Dan sedikit kesal, saya telat sekali mengetahui keberadaan band ini. Dan seharusnya kalau saya tahu, akan saya masukkan di kompilasi Holy Noise yang lalu. Damn it!

-------------------------------------------------------

Berikut link unduh EP Who We Had Become!

https://kiirorecords2.bandcamp.com/album/who-we-had-become

Kamis, 04 Juni 2015

Reissued Themilo

Satu bulan lebih Records Store Day berlalu, Themilo merilis ulang Let Me Begin dalam bentuk vinyl dan cd. 



Bersyukurlah bagi yang telah memiliki vinyl Let Me Begin Themilo, dan juga CD-nya. Meski diwarnai telat jadwal rilis, namun si label perilis, Majemuk Records, bisa mewujudkan impian memiliki rilisan album perdana band shoegaze Bandung ini dalam bentuk berbeda selain kaset.

Saya sendiri alhamdulilah sudah dapat edisi vinyl dan cd. Plus tandatangan formasi awal di album tersebut, khususnya tandatangan Coro, si drummer yang dulu sempat menjadi personil Cherry Bombshell.

Menurut saya, seperti di artikel sebelumnya, album ini adalah album terbaik dari Themilo, bahkan dibanding dengan album Photograph. Kontur musik Themilo jauh lebih berwarna dan hidup, kita bisa dapatkan sisi fuzzy dan juga dreamy di album tersebut.  Rilisan berbeda dari album ini adalah hal terbaik bagi penggemarnya, seperti halnya ketika The Upstairs me-vinyl-kan album Matraman.

Rilisan ini memang tak sempurna seperti harapan dalam perjalanannya. Sempat diwarnai molornya jadwal rilis untuk vinyl, lalu juga kesalahan penempatan trek, dan juga kurang bagusnya kualitas audio di cd maupun di vinyl. Beberapa teman saya mengkritik soal kualitas audio yang terkesan 'mendem'.

Entah apa yang menjadi masalah sebenarnya, apakah dari kualitas masternya ataukah ada kesalahan dalam mastering dan mixing untuk dijadikan vinyl dan cd. Ekspetasi awal akhirnya harus menyesuaikan apa yang disajikan oleh rilisan tersebut.

Saya mencoba berpikir positif saja, apapun itu, rilisan berbeda Themilo ini tidaklah mengecewakan amat. Bahkan jika dibandingkan dengan rilisan vinyl Seringai dimana banyak juga yang kecewa dengan kualitas soundnya. Let Me Begin versi vinyl dan cd masih dianggap lebih baik. Itu juga kata teman saya.

Overall, rilisan terbaru Let Me Begin plus 4 trek lagu unreleased, menjadi rilisan yang penting untuk dimiliki. Penting karena menjadi awal musik shoegaze di negeri ini. Segeralah membeli rilisan ini, sebelum nanti para penimbun akan membuat mahal dan kamu akan kecewa.

Senin, 11 Mei 2015

Heals - Void (Single)

Band Bandung bernama Heals memantik perhatian melalui single Void. Kejutan kota Bandung yang fresh dan keren.



Jadi saya sudah dikasih tahu sama teman kalau ada band bernama Heals yang patut dicermati, lalu si basis Dental Surf Combat kasih link di grup facebook, dan gitaris Morfem kasih link via whatsapp, sebuah single berjudul Void. Dan keren band asal Bandung ini.

Mendengarkan lagu band yang line up-ya, terdiri dari Aldead (Gitar/Vokal), Eja (Gitar/Vokal), Via (Bass/Vokal), Rara (Gitar) dan Cumi (Drum), jadi teringat My Vitriol, sebuah band seminal shoegaze di era 2000-an.  Musik Heals tight dan rapi, isian dan hook2 di lagunya menawan. Saya penasaran dengan album perdana mereka, dan pastinya akan saya beli. Mau tahu musik mereka seperti apa? Dengar saja lagu Void di laman soundcloud mereka. 

VOID


Senin, 09 Maret 2015

Petisi Datangkan Ride dan Slowdive!

Sebuah petisi online diluncurkan oleh oknum tak dikenal, mengajak masyarakat untuk mendukung sebuah konser Ride dan Slowdive di Indonesia.

klik!

Akhirnya ada yang nggak tahan untuk membuat sebuah petisi online mendatangkan Ride dan Slowdive ke Indonesia. Request yang sebenarnya bakal membuat para promotor berkerut kening mengingat kurang familiar kedua nama band tersebut bagi mereka.

Ride

Meski begitu, niat ini semoga bisa bersambut, setelah sempat ada gerakan mendatangkan Jesus and Mary Chain dari Singapura ke Jakarta, namun kandas karena satu hal penuh intrik, lalu juga menghadirkan Slowdive yang sempat ke Singapura namun tak ada yang berani dengan urusan balik modalnya.

Silahkan ikuti petisi online ini, semoga suara kita terdengar oleh para promotor, ketika negeri ini sudah tidak mendengar keluh kesah rakyat jelata. Ya ya ya..

Rabu, 04 Maret 2015

Arian13 - Liner Notes Holy Noise

Tulisan dibawah ini adalah isi dari liner notes kaset kompilasi shoegaze lokal yang ditulis oleh Arian13, vokalis band Seringai. Saya rasa penting untuk diposting di blog ini ketika Arian13 bercerita tentang historis awal keberadaan musik shoegaze dan band-bandnya di Indonesia, termasuk soal band metal dan musik shoegaze!



Dua puluh lima tahun lalu, tidak ada scene independen, apalagi scene indiepop atau shoegaze. Kecenderungan musik di era '90an pada waktu itu adalah metal dan punk rock yang kerap disebut sebagai musik underground, yang memang secara networking sudah mapan sehingga eksistensi para band-band ini cenderung lebih 'mudah'.

Besar di Bandung, saya beruntung mendapat kesempatan melihat Cherry Bombshell formasi awal dengan vokalis Alexandra Wuisan di penghujung tahun '90an. Karakter vokal Sandra, begitu membius dan menghanyutkan, sedikit mengingatkan saya kepada Cocteau Twins. Bersama Alexandra, Cherry Bombshell sempat merilis sebuah mini album dalam format kaset, 500 keping dan tidak pernah dirilis ulang lagi.

Tidak lama Alexandra mengundurkan diri, dan membentuk Sieve, yang sayangnya tidak lama aktif namun saya beruntung mendapatkan rilisan kasetnya, Biara, dan sempat menonton live mereka beberapa kali. Ketika Sieve eksis, sudah ada band The Milo, yang mengambil jalur musik yang sedikit berbeda dengan Sieve tapi searah. Sedikit ethereal dreampop, shoegaze, dengan sentuhan goth.

Sieve
Frontman/gitaris The Milo, Ajie Gergaji, dulu merupakan gitaris band metal/alternatif Life At Pawn, dimana drummernya, Edy Khemod, kini adalah drummer Seringai. Dan mengingat motor/gitaris Cherry Bombshell, Harry Ajo, juga adalah gitaris Puppen, saya pikir dulu scene musik underground awal memang cukup openminded. Semangatnya, adalah saling dukung atau membuat proyek musik yang berbeda dengan musik yang biasa dimainkan, dalam hal ini metal atau punk rock.

Saya jadi teringat foto band di album band grindcore Napalm Death Utopia Banished, dimana gitaris Mitch Harris mengenakan sebuah t-shirt Curve, dan interview Justin Broadrick dari Napalm Death/Godflesh yang menyebutkan kalau My Bloody Valentine adalah salah satu musik favoritnya. Pada saat itu, informasi seperti ini adalah mindblowing. Mungkin hal-hal seperti ini dulu seperti 'mendorong' para musisi underground lokal untuk memproduksi musik lain diluar metal atau punk rock.


Justin Broadrick - Napalm Death

Anyway. Fast forward lima belas tahun silam di Jakarta, yaitu scene BB's dan Parc, dua bar yang rajin mengadakan event-event musik non mainstream. Dari The Upstairs, Sajama Cut, That's Rockafeller, hingga The Sastro. Salah satu yang menyita perhatian saya adalah ketika menonton Sugarstar. Aransemen dan sound mereka sangat bagus. Band shoegaze ini sebenarnya sudah eksis sebelum scene BB's dan Parc ada, dan memang saya pernah mendengar band ini direkomendasikan oleh seorang teman. Membuat saya bertanya-tanya, di Indonesia sudah sebanyak apa ya scene musik seperti ini? Dari beberapa kota besar, mungkin ada band-band sejenis, tapi sayangnya seperti Sugarstar, jarang ada yang akhirnya merilis rekaman dan terdokumentasikan secara rekaman.

Sugarstar
Fast forward 10 tahun lagi, hari ini. Yang sedang kalian pegang sekarang adalah sebuah kompilasi shoegaze pertama dari Indonesia. Kompilasi indie pop cukup banyak, tapi kompilasi yang spesifik mendokumentasikan band-band shoegaze/dreampop yang signifikan, adalah kaset yang sedang kalian pegang ini.

Menakjubkan mendengarkan satu demi satu sound shoegaze/dreampop yang berbeda. Dari old timers seperti Ajie Gergaji, Elemental Gaze, Poptart, hingga yang terbaru seperti Seaside dan Treasure Hiding. Beberapa band malah berisikan pemain-pemain lama! Tetapi tetap saja, exciting. Menyenangkan mendengarkan band yang membawakan musik yang tidak umum ini. Saya berharap semua band yang ada di dalam kompilasi ini berhasil merilis album, dan bahkan aktif dalam waktu yang lama. Masih banyak pekerjaan rumah kita untuk membuat scene ini lebih hidup, dan tidak ada yang bilang itu sebuah hal yang mudah. Let's go.


- Arian13, Seringai

Minggu, 11 Januari 2015

Revolution - The Shoegaze Revival

Sebuah kompilasi shoegaze lintas batas kontinen siap hadir di bulan Februari. 30 band dengan tekstur kebisingannya masing-masing, 4 band diantaranya berasal dari Indonesia.

Dunia memang begitu luas. Dan semakin tak ada batasnya ketika internet berhasil mematahkan batasan-batasan teritorial dan geografis. Semua orang bisa berkelana dengan pikiran dan kreatifitasnya. Dan musik menjadi salah satu bentuk yang paling diuntungkannya.

Kompilasi shoegaze internasional berjudul Revolution - The Shoegaze Revival bisa menjadi contoh sempurna. Gerpfast Kolektif dari label Indonesia dan Ear to Ear Records sebuah label dari Inggris bekerjasama untuk mengumpulkan band-band shoegaze/dreampop/blisspop dari seantero dunia yang telah mereka lacak di dunia maya ke dalam satu kompilasi besar tersebut.



Ada 30 band, 4 diantaranya dari Indonesia, yaitu Intenna, Sharesprings, Seaside, dan Damascus. Saya mendengarkan ketigapuluh band tersebut yang telah diposting di bandcamp Ear to Ear Records (klik saja) dan kompilasi ini sangat menarik. Dan sangat berwarna sekali. Dan ini benar-benar kompilasi yang sesuai dengan namanya.

Ada beberapa band yang bikin saya surprise dengan suguhan musik mereka, seperti Ummagma, Clustersun, atau Magao. Coba kalian dengar materi mereka dan pasti setuju bahwa kompilasi ini begitu fresh dan tak membosankan. Alhasil di kompilasi ini kita bisa merasakan sedikit sentuhan khas jangly, madchester, new wave, dan synth; ditengah keriuhan fuzz, delay, dan reverb tentunya.

Informasi di bandcamp menyebutkan bahwa kompilasi ini bakal dirilis pada 11 Februari 2015. Saya berharap akan ada rilisan fisiknya, apakah itu berbentuk CD atau kaset. Kalau Vinyl, wah, pasti bakal sangat luar biasa sekali.

Meski begitu, kompilasi Revolution - The Shoegaze Revival, adalah kompilasi shoegaze yang menurut saya bisa menghadirkan band-band yang tepat untuk genre tersebut. Kita bisa menikmati mosaik kebisingan yang indah dari setiap band, dan bagaimana mereka menerjemahkannya kedalam tekstur musik yang tanpa pretensius.

Keempat band dari Indonesia turut menambahkan warna di kompilasi ini. Blog ini turut memberikan rekomendasi kepada Gerpfast Kolektif terhadap band-band shoegaze Indonesia yang tepat dan menarik untuk hadir di kompilasi.

Beberapa hari lalu saya ikut nobar Beautiful Noise, dan itu dokumenter yang bagus. Kompilasi ini boleh dibilang berhasil mendokumentasikan band-band yang terinspirasi dari band-band lawas di Beautiful Noise dengan baik dan cermat. Kompilasi yang menyenangkan.

Minggu, 04 Januari 2015

Gazing on Indonesia's Shoegaze Albums in 2014

Tahun 2014 cukup meriah dengan rilisan yang seru dan menarik dari band-band shoegaze lokal. Mulai dari vinyl, cd, hingga kaset.

Sepanjang tahun lalu, rasanya menjadi tahun yang bagus, band-band shoegaze lokal mulai merilis sesuatu, lalu banyak juga acara-acara musik. Jika di tahun 2013, cuma 3 band saja yang merilis fisik, di 2014 justru cukup ramai. Semoga di tahun 2015 bakal lebih ramai lagi, terlebih akan dirilisnya kompilasi shoegaze lokal Holy Noise oleh Anoa Records, Januari ini.

Tanpa panjang kata, berikut saya persembahkan rilisan-rilisan oke di tahun 2014!

Treasure Hiding - Sang Cahaya EP

kentara sekali pengaruh dari Robin Guthrie dan Cocteau Twins, atau All About Eve.  Namun vokal Adel yang female adult pop cukup bikin Treasure Hiding lebih fresh.

Sharesprings - Maydear

 The best single from this band. Insanely beautiful. Charmingly heart-crushing. That's all. 

Negative Lovers - Faster Lover

Faster Lover seperti sebuah sesi orgy antara Nine Inch Nails, Spacemen 3, atau Loop. Parahnya lagi, sang DJ Jags Kooner meremix lagu ini dalam dua versi yang semakin keren.

Black Mustangs - s/t

"keliaran film dokumenter DIG, ketidak pedulian terhadap kemajuan jaman dan cita-cita, dan juga no future kalau kata Sex Pistols" (Toni BRNDLS).