Dua
puluh lima tahun lalu, tidak ada scene independen, apalagi scene indiepop atau
shoegaze. Kecenderungan musik di era '90an pada waktu itu adalah metal dan punk
rock yang kerap disebut sebagai musik underground, yang memang secara networking sudah mapan sehingga
eksistensi para band-band ini cenderung lebih 'mudah'.
Besar
di Bandung, saya beruntung mendapat kesempatan melihat Cherry Bombshell formasi
awal dengan vokalis Alexandra Wuisan di penghujung tahun '90an. Karakter vokal
Sandra, begitu membius dan menghanyutkan, sedikit mengingatkan saya kepada
Cocteau Twins. Bersama Alexandra, Cherry Bombshell sempat merilis sebuah mini
album dalam format kaset, 500 keping dan tidak pernah dirilis ulang lagi.
Tidak
lama Alexandra mengundurkan diri, dan membentuk Sieve, yang sayangnya tidak
lama aktif namun saya beruntung mendapatkan rilisan kasetnya, Biara, dan sempat menonton live mereka
beberapa kali. Ketika Sieve eksis, sudah ada band The Milo, yang mengambil
jalur musik yang sedikit berbeda dengan Sieve tapi searah. Sedikit ethereal
dreampop, shoegaze, dengan sentuhan goth.
Frontman/gitaris
The Milo, Ajie Gergaji, dulu merupakan gitaris band metal/alternatif Life At
Pawn, dimana drummernya, Edy Khemod, kini adalah drummer Seringai. Dan
mengingat motor/gitaris Cherry Bombshell, Harry Ajo, juga adalah gitaris
Puppen, saya pikir dulu scene musik underground awal memang cukup openminded. Semangatnya, adalah saling
dukung atau membuat proyek musik yang berbeda dengan musik yang biasa dimainkan,
dalam hal ini metal atau punk rock.
Saya
jadi teringat foto band di album band grindcore Napalm Death Utopia Banished, dimana gitaris Mitch
Harris mengenakan sebuah t-shirt Curve, dan interview Justin Broadrick dari
Napalm Death/Godflesh yang menyebutkan kalau My Bloody Valentine adalah salah
satu musik favoritnya. Pada saat itu, informasi seperti ini adalah mindblowing. Mungkin hal-hal seperti ini
dulu seperti 'mendorong' para musisi underground lokal untuk memproduksi musik
lain diluar metal atau punk rock.
Justin Broadrick - Napalm Death |
Anyway. Fast forward lima belas tahun
silam di Jakarta, yaitu scene BB's dan Parc, dua bar yang rajin mengadakan
event-event musik non mainstream. Dari The Upstairs, Sajama Cut, That's
Rockafeller, hingga The Sastro. Salah satu yang menyita perhatian saya adalah
ketika menonton Sugarstar. Aransemen dan sound mereka sangat bagus. Band
shoegaze ini sebenarnya sudah eksis sebelum scene BB's dan Parc ada, dan memang
saya pernah mendengar band ini direkomendasikan oleh seorang teman. Membuat
saya bertanya-tanya, di Indonesia sudah sebanyak apa ya scene musik seperti
ini? Dari beberapa kota besar, mungkin ada band-band sejenis, tapi sayangnya
seperti Sugarstar, jarang ada yang akhirnya merilis rekaman dan
terdokumentasikan secara rekaman.
Sugarstar |
Menakjubkan
mendengarkan satu demi satu sound shoegaze/dreampop yang berbeda. Dari old timers seperti Ajie Gergaji,
Elemental Gaze, Poptart, hingga yang terbaru seperti Seaside dan Treasure
Hiding. Beberapa band malah berisikan pemain-pemain lama! Tetapi tetap saja, exciting. Menyenangkan mendengarkan band
yang membawakan musik yang tidak umum ini. Saya berharap semua band yang ada di
dalam kompilasi ini berhasil merilis album, dan bahkan aktif dalam waktu yang
lama. Masih banyak pekerjaan rumah kita untuk membuat scene ini lebih hidup,
dan tidak ada yang bilang itu sebuah hal yang mudah. Let's go.
-
Arian13, Seringai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar