"People expected us to play Reggae. They got a wall of feedback" - Rudy Tambala
Teman saya, eks slacker negeri kiwi yang bernama Zounds72, menge-tag saya pada sebuah artikel dari Guardian, berjudul A.R. Kane: How to Invent Shoegaze Without Trying. Judul yang bikin saya tergelak sendiri karena begitu lucunya, tentang kisah band A.R. Kane, saya rasa (dan berharap) banyak yang sudah kenal dengan band lawas satu ini dari Inggris, salah satu band generasi pertama yang meretas musik shoegaze. Dan artikel ini sungguh menarik dan historikal, bagaimana dua anak muda Afro di Inggris yang 'terjebak' untuk bermain musik dan menjadi inspirasi bagi banyak band shoegaze dan alternatif di kemudian hari. So, saya ingin sekali menyarikan isi artikel tersebut untuk kita semua :)
A.R. Kane |
Kisah band ini dimulai dari celetukan ngasal, Rudy Tambala kepada temannya di sebuah pesta. Ia bilang kalau punya sebuah band, padahal tidak ada sama sekali. Bahkan Rudy berpikir bahwa band ini sebenarnya tidak akan pernah ada. Sampai akhirnya, dirinya dan teman sejak SD, Alex Ayuli menemukan sebuah band bernama Cocteau Twins di televisi rumahnya lewat program musik Channel 4, dan segalanya kelak akan berubah. Dua anak afro berambut dreadlock ini terbius..
Pastinya mereka terpukau oleh musik Cocteau Twins, yang tanpa drummer, memaksimalkan tapes dan teknologi sounds saat itu, serta sosok Liz Frazer yang seperti mahkluk dari dunia lain, bersuara malaikat dan bermata besar. Dan suara gitar Robin Guthrie membungkus 'keanehan' tersebut dengan begitu indah dan megah. "That was the Fuck! We could do that," kenang Rudy ketika itu.
Beberapa hari setelah menonton Cocteau Twins, Rudy dan Ayulli bertemu dengan seorang teman perempuan Ayuli di sebuah pesta. Bualan itu pun keluar ketika si teman menanyakan apa kegiatan mereka, dan dijawab Rudy, "Kami ngeband loh". Nama A.R. Kane pun tercetus pada saat itu juga dengan menukil film Citizen Kane dan the Mark of Twain. Ditanya lagi, musiknya seperti apa, Rudy celetuk dengan menjawab nama-nama seperti The Velvet Underground, Cocteau Twins, Miles Davis, dan sedikit Joni Mitchell.
Rudy mengaku sepertinya dirinya saat itu memang sedang lagi mabuk. Tetapi seminggu kemudian mereka ditelepon oleh pihak label One Little Indian. Bualan itu berujung permintaan sebuah demo dan ajakan masuk roster label. Tentu saja, ketika itu tak ada band apalagi satu lagu, bahkan anggotanya sekalipun!
Berbekal ide kasar, Rudy dan Ayuli merekam lagu dengan dua tape kaset, lalu mereka merekam tiap track secara bergantian...serba lo-fi nan irit, dan sebuah materi demo tercipta! Derek Birkett, pendiri One Little Indian dan eks punker di band anarki punk, Flux of Pink Indians, ternyata kesengsem dengan demo mereka, dan pengen ngelihat live dari band yang sesungguhnya belum ada, baru lagu-lagu saja.
Lived in the end of 80's |
Menjelang tanda tangan kontrak, Derek mengundang mereka untuk mampir ke kediamannya di London Selatan. Betul-betul kediaman dengan taman yang dihuni oleh teman-teman punk Derek. Mereka diajak ke kamarnya, dan Derek berucap, "gue sekarang punya dua band dan salah satu dari kalian akan menjadi sangat terkenal". Ditangannya ada sebuah foto anak kecil memegang kodok. "Saat itulah pertama kali saya melihat Bjork," kenangnya.
Akhirnya mereka berhasil merilis sebuah EP berjudul When You're Sad, dengan rangkaian promo manggung yang membuat para penonton kebingungan sendiri. "Mereka melihat kami gimbal dan berpikir musik reggae. Namun yang mereka dapatkan hempasan feedback, lalu berpikir pasti kesalahan teknis dan beranjak pergi. Padahal itu adalah musik kami," ujar Rudy yang kini menjadi analis musik digital.
Petualangan musik A.R. Kane pun turut mampir ke pintu label 4AD. Mereka mengirimkan demo berjudul Lolita dan diterima 4AD. Namun lagi-lagi mereka hadir di sebuah label aneh. Jika di label One Little Indians, mereka bertemu dengan bos label eks punker anarki dan gerombolannya yang selalu nongkrong di taman belakang rumah si Derek, di 4AD, mereka berkenalan dengan Vaughan Oliver, bos artistik label, yang setiap minggu selalu menggunduli seluruh karyawan label, bahkan perempuan, dan mengharuskan berbusana hitam. "What the fuck is going on?! They looked Zen, but they were'nt" kata Rudy.
Di label ini, mereka merilis sebuah album mini yang legendaris dan terbaik di awal era acid house music, Pump Up the Volume. A.R. Kane memadukan noise dan feedback, serta dreamy sound dengan beat-beat dari music house yang menghentak. Mungkin mereka adalah pelopornya dan pastinya menginspirasi band-band semacam Curve atau My Bloody Valentine di lagu Soon.
Album bertajuk MARRS ini sukses besar. Menembus penjualan satu juta kopi, dan membuat 4AD terguncang dan kelimpungan karena tak terbiasa menerima pesanan sebanyak itu. Rudy mengisahkan betapa kesuksesan mereka menghancurkan begitu banyak ilusi tentang label 4AD itu sendiri. Namun Rudy melihat album mereka yang berjudul 69 sebagai sebuah album penting bagi dirinya. Di album ini mereka bereksplorasi begitu liar dan bualan itu ternyata menjadi 'sesuatu' yang tak terbayangkan. Dirilis tahun 1988, dimana MBV pun masih wangi nuansa jangly. "Namun dirilisan berikutnya MBV menjadi begitu lebih keren dari kami dan itu menarik," ujar Rudy.
Dua album menyusul dan A.R. Kane pun bubar. Tetapi Rudy begitu bahagia dengan apa yang telah mereka berdua lakoni di masa silam. Tanpa niat, tanpa ambisi. Dan mereka justru meretas sebuah gaya musik yang dinamai oleh para jurnalis musik, yaitu shoegaze. "For a while, Alex and me had that. We were really good. Just listen to those tracks. We piled so many ideas into every fucking songs!" tutupnya. So pasti! (Marr - disarikan dari artikel Guardian)